Aku Rindu Kopi Manggar Lagi
TIGA hari sudah siklus istirahatku tak karuan, malam tak ngantuk, siang tak semangat bekerja.
Selera membacaku juga hilang, hanya ingin menikmati kopi. Bahkan untuk menulis di blog ini pun malas.
Dari
beberapa tempat ngopi yang ku singggahi beberapa hari ini, tiba-tiba
terngiang keinginan menikmati kopi manggar. Manggar yang dijuluki kota 1001
Warung Kopi di Belitung Timur pernah ku singgahi. Itupun hanya sekali, pada akhir Mei 2016.
Dari
salah satu warung kopi yang ku singgahi, terbayang segala macam tulisan
Andrea Hirata (Mulai Buku Laskar Pelangi-Ayah) yang berkaitan dengan
Manggar. Pertemuan Ikal dan Aling, karyawan PN Timah yang lalu lalang di
pasar manggar, pertemuan antara Ikal dan Lintang, hingga kisah Ayah
yang menjadi gila menanti anaknya pulang di Pasar Manggar.
Saat
itu Aku meraba-raba, dimana warung kopi yang sering disinggahi ikal?
Dimana warung kopi tempat Maryamah menaklukkan mantan suaminya dalam
turnamen catur? Di warung yang mana gigi palsu seorang tionghoa tua yang
hilang itu?
Dari
tempat aku duduk, Terus aku pandangi satu per satu warung kopi yang
ada. Aku berasumsi, warung paling ramai adalah yang jadi tempat setting
cerita semua buku-buku karangan Andrea Hirata.
Sempat
ku singgahi museum kata milik Andrea Hirata. Saat itu museum sedang
renovasi, sehingga tak bisa masuk ke dalamnya. Dari warung kopi kuli,
aku terus memandangi ke arah museum kata yang bersebelahan dengan
warung. Pintu dan dinding museum penuh warna-warni. Namun tak memberi
banyak makna bagiku.
Karena
dalam benakku, "nyawa" dari sebagian besar karya Andrea Hirata ada di
Manggar, yang kini menjadi ibukota Belitung Timur. Pertemuan Jimron dan
Lasmi, Pertemuan Arai dan Zakiah Nurmala (dalam buku Sang Pemimpi), Toko penjual kapur, Ikal
melihat kuku tercantik di dunia (dalam buku Laskar Pelangi), dan pertandingan final buruh kasar
melawan pekerja asing PN Timah (dalam buku 11 Patriot) terjadi di
Manggar.
Bagiku, persinggahan selama satu hari di Kota Manggar sangatlah tidak cukup. Aku tidak sempat mengeksplore banyak tempat.
Hingga
kini, aku masih rindu kopi manggar. Kopi tubruk yang diseduh
alakadarnya, tak tedeng aling aling dan jujur apa adanya. Dalam beberapa buku Andrea, ia menyebutnya kopi kuli.
Harum kopinya
sepertinya menyeruak di hidungku saat ini. Tapi, itu hanya khayalan. Tak ada kopi
manggar di hadapanku.
Mungkin, ini yang namanya rindu.
Komentar
Posting Komentar